Senin, 26 Januari 2009

kumpulan cerpen

PACAR HILANG, JODOH BUKAN

September 5th, 2006 by malachi-novel

Apaan sih Pa? Jodohin aku sama orang nggak aku kenal. Hari gini masih aja mesti dijodohin. Aku kan bisa cari sendiri. Kayak sudah nggak laku aja. Lagian Icha masih jalan sama Andri. Icha tahu Papa nggak suka Andri. Makanya Papa selalu cari jalan untuk pisahin aku dari Andri, “ kata Icha dengan nada tinggi dan suara keras.

ICHA!!! Papa kan cuma minta kamu menemani Hendra, anak teman Papa itu jalan-jalan di Jakarta sebelum dia masuk kuliah S2-nya. Kasihan dia kan belum tahu jalan. Lagipula untuk sementara Hendra akan tinggal di sini. Papa nggak minta kamu menikahi dia. Heran deh kamu nih sudah kegeeran duluan. Pakai acara sewot nggak jelas begitu, “ balas Papa tak kalah sengitnya.

Memang Papa nggak suka sama Andri. Kuliah nggak beres-beres. Sudah umur berapa dia tuh. Dua delapan? Pindah kampus sampai dua kali. Kerja nggak. Orang tuanya juga nggak beres, “ tambah Papa memerinci kekurangan Andri.

Salah Icha juga yang memancing Papanya dengan rentetan gerutu. Icha memang sudah cukup lama berhubungan dengan Andri. Sejak SMP kelas tiga. Andri adalah cinta pertama Icha. Kata orang cinta pertama itu yang paling berkesan sepanjang hayat. Icha sudah terlanjur sayang dengan Andri. Jadi meskipun Papanya tidak merestui, Icha tetap jalan terus. Ia gigih membela Andri. Icha ingin membuktikan pilihannya tidak salah. Ini masalah pendirian, menurut Icha. Padahal sudah tiga kali Andri berselingkuh. Icha tidak percaya kata Ria dan Mamanya. Ia tetap mempertahankan Andri. Ia tak pernah bisa lama putus dengan Andri. Selalu putus sambung. Banyak kenangan indah bersama dengan Andri. Lagipula cinta itu memang buta bukan? Kalau sudah melek sudah bukan cinta namanya.

* * *

Hari ini Hendra tiba di Jakarta. Icha ditugaskan menjemput di bandara. Ia merasa sebal karena tugas ini seharusnya dikerjakan oleh Pak Ahmad, supir keluarga. Tapi Mama sengaja menggunakan Pak Ahmad untuk mengantarkannya berbelanja. Semua orang rumah hari ini bersiap-siap menyambut kedatangan Hendra. Membuat hati Icha bertambah kesal. Kenapa si Hendra begitu spesial di mata Papa, Mama dan seisi rumah? Icha tak habis pikir.

Sambil mengacungkan karton bertuliskan Hendra tinggi-tinggi, Icha menggerutu. Kenapa Hendra tidak juga muncul-muncul. Begini rasanya jadi supir travel, batin Icha. Seperti orang tolol rasanya.

“ Maaf, Icha? “ tanya seorang lelaki berwajah tampan berdiri di depan Icha.

“ Iiiiya….Hendra? “ Icha agak tergagap menjawab sekaligus bertanya. Ya Tuhan, cowok ini ganteng sekali, pikir Icha dalam hati memuji. Wah versi Indonya Clark Kent. Duh, wajah persegi dengan rahang yang kokoh. Persis seperti patung Yunani. Aduh Hendra kalau tahu kamu seganteng ini, kenapa nggak dari dulu datang ke Jakarta. Hehehehe, Icha tertawa dalam hati. Mau tak mau Icha tersenyum sendiri.

“ Ehm kenapa kok senyam senyum? Ada yang lucu? “ tanya Hendra.

“ Eh nggak, ya udah lo ikut gua jalan ke parkiran ya? Mobil gua nggak jauh kok. Lagian koper lo kan ada rodanya. Yuk! “ Mereka berdua berjalan beriringan menuju tempat parkir.

* * *

Di mobil dalam perjalanan pulang menuju ke rumah.

“ Ehm kamu mau ambil kuliah S2 apa? “ tanya Icha mencoba memecahkan kebekuan di antara mereka.

“ Manajemen. Tadinya mau ambil yang desain. Tapi Papaku nggak mau. Dia bilang mendingan ambil manajemen supaya nanti kalau aku buka biro desain sendiri aku tahu bagaimana

mengatur jalannya perusahaan. Kamu ambil desain juga bukan? Tapi grafis ya? “

“ Iya, tapi belum selesai-selesai. Biasa keasyikan main dan pacaran. “

“ Nggak papa kok. Main kan buat networking juga. Kalau pacaran kan melatih kedewasaan kita dalam berhubungan dengan pasangan. Sudah berapa lama pacaran? “

“ Ehm kalau ditotal bersih sih sudah lima tahun. Tapi kalau putus sambungnya dihitung juga totalnya tujuh tahun. Lama juga ya?! Gua baru sadar. Terus lo sendiri sudah punya pacar? “

“ Belum, aku belum pernah pacaran sama sekali. Pasti kamu pikir aku aneh ya? Sudah setua ini belum pernah pacaran. Nggak tahu kenapa. Dulu aku berpikir pacaran itu merepotkan. Terus aku pikir kalau pacaran itu harus sampai menikah seperti Papa dan Mamaku yang berpacaran sejak SMP sampai mereka kawin umur 28. Jadinya aku pilih-pilih cewek yang mau kujadikan pacar. Aku jadi berpikir gimana orang tuanya. Apa dari keluarga baik-baik. Apa dari suku yang oke. Pokoknya serius sekali seperti mau menikah besok saja. Lama kelamaan malah nggak pacaran sama sekali karena kebanyakan kriteria. Begitu ada yang benar-benar pas malah dia sudah pacaran dan akhirnya sekarang malah sudah kawin. “

“ Ya ampun, lo tuh ya mau pacaran aja kok ribet banget. Pacaran ya pacaran aja. Nggak usah dipikirin dulu mau meritnya. Apalagi lo cowok, kalau suka tinggal nembak aja. Perkara ceweknya nolak ya tinggal cari yang lain aja. Susah amat. Lagian tampang lo nggak malu-maluin buat diajak ke kondangan. Cari pacar sih gampang. “

“ Cari pacar gampang, cari istri susah. “

“ Huuu dasar perfert. “

* * *

“ Gimana Ma? Si Hendra sama Icha? “ tanya Papa kepada Mama yang sedang menyisir rambutnya.

“ Kayaknya sih berhasil Pa. Si Icha sekarang jadi sering nemenin Hendra jalan-jalan. Bahkan tadi siang si Icha nggak mau terima telepon dari si Andri. Rencana Papa memang hebat. “

Sebenarnya alasan Papa dan Mama Icha tidak menrestui hubungan Icha dan Andri ada benarnya. Andri hanya membawa pengaruh buruk terhadap Icha. Icha mulai mengenal rokok dari Andri. Kuliah pun mulai keteteran. Sementara dari Ria, sahabat Icha, Papa dan Mama mengetahui kalau ternyata uang jajan Icha sering dipakai untuk membayar biaya kuliah Andri. Sebenarnya tak masalah bagi kedua orang tua Icha, karena tujuannya baik. Yang menjadi masalah adalah Icha menjadi sering berbohong untuk mendapatkan uang biaya kuliah Andri. Seandainya saja Andri mampu membuktikan kalau uang tersebut dimanfaatkan dengan baik, dengan kuliah yang lancar. Kedua orang tua Icha tentu dengan senang hati memberikan beasiswa bagi Andri. Andri bahkan pernah dipergoki selingkuh oleh Ria dan Mama. Tapi Icha tidak pernah percaya apa yang dikatakan Ria atau Mamanya. Hubungan Ria dengan Icha yang sudah bersahabat dekat bertahun-tahun bahkan menjadi renggang.

Dengan adanya Hendra, Papa dan Mama berharap Icha dapat mengalihkan hatinya kepada Hendra.

* * *

“ Ita, gimana rencana jalan sama Andri ke Dufan? “ tanya Mama Icha lewat telepon.

“ Beres Tante, Ita sudah ngajak Andri. Dia sih mau pergi meskipun Ita belum bilang mau kemana. Ita bilang itu surprais buat Andri, “ jawab Ita dengan ceria.

“ Ya mudah-mudahan rencana Tante berjalan lancar. Tante berharap banyak sama kamu lho Ta. Tante sudah capek ngomong ke Icha. Nanti uang jalan-jalannya Tante transfer ke rekeningmu ya?! “

“ Makasih Tante, tolong dipastikan lagi rencananya ke Icha jangan sampai berantakan. Kalau ada perubahan rencana cepat beritahu saya ya Tante. Biar Ita bisa segera mengantisipasinya. Jadi pasti nih ya Tante, hari Selasa tanggal 8 Mei. “

“ Iya, pasti jadi. Terima kasih ya Ita. Tante nggak tahu mesti minta tolong siapa lagi. Ya sudah ya, daaaaa……“

“ Sama-sama Tante. Ita senang bisa bantu Tante, kok. Daaa…”

* * *

“ Cha, ke Dufan yuk? “ tanya Hendra.

“ Pengen sih. Tapi malas Ndra. Si Andri lagi susah dihubungi nih. Di-sms nggak dibalas-balas. Padahal sudah gua beliin pulsa tuh. Nggak tahu terima kasih banget sih. Tahu nih kenapa sama tuh anak. Kalau kita pergi sama Andri kan enak bisa gantian nyetirnya. Lagian lebih rame lagi acara jalannya. Ngajak si Ria gua males. Dia reseh sih. Sebal gua. “

“ Ayolah Cha, aku sudah lama nggak ke Dufan. Pengen nyoba mainan barunya. Please!!! ”

“ Lihat nanti deh Ndra. “ jawab Icha pendek.

* * *

Hari Selasa, tanggal 9 Mei yang ditunggu-tunggu pun tiba.

“ Cha, kamu mau nggak anterin Mama ke Mangga Dua? “

“ Kalau ke Mangdu sih nggak usah nanya deh, Ma. Icha dengan senang hati mau nganterin Mama. Asal Icha dikasih uang buat belanja juga ya? Boleh ya Ma minta uang sedikit? “

“ Kalau dianterin kamu ke Mangdu sih ongkosnya bisa berkali lipat dari ongkos naik taksi pulang pergi. Tapi ya nggak apa-apa deh. Ya sudah, kamu siap-siap sana. Hendra, kamu ikut aja. Daripada bengong-bengong di rumah. Nanti kalau Icha sama Tante selesai belanja biar kita semua langsung ke Dufan aja. Gimana kamu mau? “

“ Ya, mau dong Tante. Makasih ya Tan. Hendra ganti baju dulu ya?! “

* * *

Jam menunjukkan sekitar pukul 13 siang saat Mama, Icha dan Hendra selesai berbelanja di Mangga Dua. Segera saja mobil diarahkan menuju ke kwasan Dufan. Dan setelah mengantri membayar karcis akhirnya mereka bertiga sudah berjalan-jalan memilih arena permainan yang

akan mereka coba. Sementara Mama sibuk mengirim sms kepada Ita.

Ta kamu dimana?

Sender: Tante Yati 0818193XXX

Sent : 9 May 2006 13:50:35

Sudah di Dufan. Lagi antri Kora-kora.

Sender: Ita 08180651XXX

Sent: 9 May 2006 14:05:43

Kalau bisa kamu tahan Andri di sana agak lama ya!

Sender: Tante Yati 0818193XXX

Sent : 9 May 2006 14:07:05

“ Kita naik Kora-kora dulu deh, “ ajak Mama sambil berjalan dengan langkah cepat.

“ Santai aja, deh Ma. Ngapain sih jalan buru-buru? Lagian lagi sepi ini, “ balas Icha yang agak heran dengan kelakuan Mamanya.

“ Justru itu Icha. Mumpung lagi sepi. Mumpung masih banyak waktu. Mumpung permainannya lagi jalan semua. Mumpung Hendra ada. Mama sebal tiap kali ke Dufan pasti nggak pernah tuntas menyelesaikan permainan yang Mama mau. “ Masuk akal juga alasan Mama. Mama jadi tersenyum mendengar kata-katanya sendiri.

“ Iya deh. “

Bertiga mereka berjalan berdampingan menuju area permainan Kora-kora. Kemudian berdiri mengantri berurutan. Dan saat mengantre itulah Andri dan Ita yang sudah selesai bermain Kora-kora turun ambil berpelukan mesra menuju ke tempat Icha, Mama dan Hendra mengantri.

“ ANDRI!!!! KURANG AJAR LO YA!!! “ Icha berteriak dengan lantang memanggil Andri

yang tampak terkejut melihat Icha. Refleks Andri segera melepaskan pelukan Ita dan menjauhi Ita.

Sementara Ita berusaha mendekat dengan Andri.

“ Apaan sih kamu Ndri? “ Ita berseru sembari meraih tangan Andri.

“ Ini siapa? “ tanya Icha mendesak Andri.

“ Bukan siapa-siapa kok cuma teman biasa, “ jawab Andri tegang.

“ Apaan sih lo Ndri. Gua pacarnya Andri, “ kata Ita dengan suara keras.

“ Kurang ajar lo ya Ndri. Lo tega banget ya sama gua. Gua sudah belain lo di depan bonyok gua. Gua berjuang mempertahankan kehormatan lo di depan mereka. Gua relain uang jajan gua buat bayar kuliah lo. Sekarang lo malah asyik-asyikan sama nih cewek di sini. Pantes aja lo berapa hari ini susah banget dihubungi ya? Lo sudah bosan sama gua ya? Tenang aja kita sudah putus. Lo boleh ambil tuh cowok, gua nggak butuh dia. Puas?!!!! “ balas Icha dengan nada tinggi.

“ Cha, jangan putusin gua. Gua minta maaf. Maafin gua ya? Gua janji nggak akan ngulangin lagi! Please Cha! Jangan tinggalin gua! “ Andri memohon dengan nada memelas.

“ Nggak gua mau putus sama lo. Lo tuh sudah bikin hubungan gua sama bonyok gua nggak enak. Lo bahkan ngejelekin Ria yang sudah memperingatkan gua. Gua baru sadar kalo lo ternyata tukang selingkuh ya! Sana lo pergi dari sini. Gua nggak mau lihat muka lo lagi. Cepat pergi atau gua akan berteriak kalau lo adalah copet dan tukang perkosa orang, “ Icha mengancam.

Dengan langkah gontai Andri pun melangkah pergi. Ia mengajak Ita pulang bersamanya. Tetapi Ita menolak pulang.

“ Ta, ayo kita pulang! “

“ Lo pulang aja sendiri, Ndri. Gua nggak mau pulang sama lo. “

“ Lo kenapa sih? “

“ Lo yang kenapa? Lo pikir gua mau jalan sama orang kayak lo. Pikir dong! Tukang selingkuh, kuliah nggak beres tahunya cuma morotin cewek aja. “

“ Brengsek lo! Dasar cewek murahan! “, balas Andri dengan sengit.

“ Lo yang cowok murahan lagi! “ jawab Ita sambil melangkah pergi menuju ke tempat Icha dan Mamanya serta Hendra sedang berdiri. Sementara Andri pun berjalan menuju pintu keluar.

* * *

“ Cha, ada yang mau Mama ngomongin sama kamu, “ kata Mama.

“ Apa? Mama ngomong aja. Maafin Icha ya yang nggak percaya sama Mama dan Ria. “

“ Mama juga minta maaf. Mama mau ngenalin kamu ke Ita. Sebenarnya Ita sama Mama

yang punya rencana menjebak Andri. “

“ Apa??? “

“ Gua minta maaf ya Cha. Gua Ita. Sebenarnya gua menjebak Andri karena gua sebal banget sama dia. Selain jalan sama lo, sebenarnya dia selingkuh sama dua orang lain sekaligus, adik dan sahabat gua sendiri. Dia merusak hubungan gua dengan Sylvia dan Ire, adik dan sahabat gua. Sama seperti lo dengan Ria dan nyokap. Adik gua itu yang dilihat sama nyokap lo. Sementara yang dilihat Ria adalah Ire. Gua ketemu nyokap lo waktu gua lagi memisahkan Sylvia dan Ire yang lagi berantem di mal. Untung ada nyokap lo yang nolongin gua melerai mereka berdua. Waktu diusut-usut ternyata gua sama nyokap lo menghadapi orang yang sama, Andri. “

“ Terus kita berdua memutuskan untuk menjebak Andri. Begitu Cha, “ tambah Mama menjelaskan. “ Mama sudah nggak tahu mesti ngomong gimana lagi. Soalnya tiap kali Mama ngomong pasti kamu bantah. Makanya Mama pikir lebih baik kalau kamu melihat bukti nyata. Kalau nggak begitu kamu nggak bakal percaya sama omongan Mama. “

“ Iya deh, maafin Icha ya Ma? Icha sayang deh sama Mama. Makasih ya Ta, sudah nolongin nyokap gua, “ kata Icha dengan senyum mengembang.

“ Nah, mumpung ada Hendra nih. Sebenarnya Mama mau kamu jadian aja sama Hendra. Kamu mau kan? Gimana Hen kamu mau nggak sama Icha? “

“ Aduh maaf Tan, bukan nggak mau tapi Hendra kan gay, “ jawab Hendra polos.

“ Oh…..” jawab Mama Icha sambil melongo terkejut.

TAMAT

PENYAKIT IRE

September 5th, 2006 by malachi-novel

Akhir – akhir ini Ire menderita suatu penyakit aneh. Bukan penyakit baru sebenarnya. Tetapi penyakit ini berkembang seiring dengan perkembangan dunia penyiaran televisi di tanah air. Penyakit ini menyerang Ire sepanjang hari. Sejak subuh hingga malam hari. Ire terus menyaksikan infotainmen sepanjang hari. Ia mengidap infotainment addict, istilah gaulnya orang jaman sekarang. Sehingga apa yang ditampilkan oleh infotainmen itu menjadi bahan pembicaraan Ire dengan orang-orang di sekitarnya. Mulai dari Bu Lisda, ibunya sendiri, Mbok Yah, pembantu rumah mereka, mbak Jumirah, tukang sayur langganan yang sering berhenti di depan rumah. Sampai tante Santi, tante Darmi dan tante Yohana, tetangga-tetangga di sekitar rumah mereka. Bahkan sampai Sinta, Ferriet, Rosa, teman-teman kuliahnya serta Bu Mel, Bu Andri dan Bu Ati, dosen-dosennya. Mereka bisa sama-sama tersenyum puas jika bintang A menikah dengan si anu. Atau sama-sama sedih jika bintang B bercerai dengan si itu. Infotainmen telah meghiasi hari-hari dalam kehidupan mereka semua dengan aneka cerita.

Tetapi infotainmen mulai mengganggu kehidupan Ire. Ire bahkan mulai mengakhiri setiap perkataannya dengan kalimat, “ Tidak ada gosip yang tidak kami gosok-gosok supaya makin sip. “ Seperti salah satu slogan yang diucapkan salah satu virus infotainmen. Atau di lain waktu Ire mengawali kalimatnya dengan, “ Memburu gosip, membongkar rumor. “ Ada kalanya Ire menggunakan kalimat lain, “ Tidak ada gosip yang tidak kami tambahi dan tak ada rumor yang tidak kami kurangi. “ Tampaknya kalimat-kalimat itu telah mengental dalam otak Ire.

Setiap kali Ire merasa bersalah jika meninggalkan infotainmen. Pada tahap ini Ire terkena gejala demam infotainmen atau istilah kerennya infotainment syndrome. Ire sudah hafal di luar dan dalam kepala jadwal setiap infotainmen setiap jam setiap hari di stiap stasiun televisi yang menayangkannya. Sampai-sampai Ire bersedia menyesuaikan kegiatannya dengan jadwal acara-acara infotainmen itu. Mulai dari jadwal bangun tidur, bangun, makan, mandi sampai kegiatan kampusnya. Semua disesuaikan dengan jadwal acara infotainmen. Sampai tahap ini Ire sudah dinyatakan dokter terkena penyakit infotainmenaholic atau istilah gaulnya infotainment freaks.

Hingga akhirnya sebulan yang lalu Ire dinyatakan telah terserang hyperfotainment, suatu penyakit akibat terlalu menyerap infotainmen secara berlebihan. Sebab jika Ire tidak menyaksikan infotainmen, ia akan terserang gejala gelisah, panas dingin tak menentu, mata berair, pusing, linglung, dan sedih yang berlebihan sampai insomnia alias susah tidur.

Sebaliknya jika hari itu Ire berhasil menonton seluruh infotainmen yang dinyatakan sepanjang hari di semua stasiun televisi, maka Ire akan melenguh, mengerang nikmat yang terhingga. Ire mengalami puncak kepuasan tertinggi, orgasme.

“ Ooh……oooohhhhhh……………hhhhmmmmmmm……….hhhhhh……….”

“ Infotainmen telah menyentuh G-spot-ku. Hingga aku mengalami orgasme. Infotainment orgasm, berkali-kali catet “ kata Ire. “ Orgasme infotainmen rasanya tak bisa dibandingkan dengan apapun. Ini lebih dahsyat daripada orgasme seks, aku bahkan mengalami multiple infotainment orgasm setiap kali menyaksikan infotainmen, “ tambahnya. Jika Ire mengalami multiple orgasm setiap kali, bisa dibayangkan jika sehari ia menyaksikan infotainmen berkali-kali. Tentu Ire mengalami multiple multiple orgasm. Belum ada istilah kedokteran yang sanggup mendefinisikan kenikmatan yang super dahsyat itu. Bahkan teman-teman wanita di kampusnya merasa iri dengan apa yang dialami Ire. Karena pacar-pacar lelaki mereka tak sanggup memuaskan mereka dengan sekali orgasme pun. Terlalu cepat keluar atau kurang pemanasan kata mereka.

***

Setiap kali mendengar Ire mendesah dan melenguh puas, seisi rumah menjadi risih sekaligus iri dengan kepuasan dahsyat yang dialami Ire. Diam – diam kedua orang tua Ire mencoba mengikuti apa yang dilakukan Ire.

Ibu Lisda dan bapak Aldi, kedua orang tua Ire, bergegas ke toko elektronik. Mereka hendak membeli televisi baru. Televisi yang bisa menayangkan sekaligus dua gambar dari dua saluran televisi yang berbeda pada satu layar. Maksudnya supaya mereka berdua bisa menyaksikan infotainmen sepanjang hari di atas tempat tidur dengan aman dalam kamar tidur. Jadi mereka tak perlu lagi menyaksikan infotainmen di ruang keluarga lagi. Sehingga mereka tak perlu kuatir kalau-kalau Mbok Yah akan memergoki mereka berdua sedang melakukan adegan tak senonoh atau sedang mengalami orgasme.

Sayangnya betapapun ibu Lisda dan pak Aldi berusaha, mereka tak kunjung mengalami multiple orgasm seperti yang dialami oleh Ire. Tidak sekalipun. Alias gagal dengan suksesnya. Awal mulanya mereka berdua memang terangsang dengan infotainmen. Tetapi mereka gagal mengalami orgasme infotainmen. Mereka berdua bahkan justru mengalami down infotainment syndrome. Ditandai dengan gejala tidak menyadari apa yang dibicarakan dalam infotainmen tersebut. Mereka bahkan seperti orang linglung.

“ Kalau diajak bicara sering nggak nyambung, “ kata Mbok Yah.

***

“ Tuan sama nyonyah itulagi sakit tulalit infotainmen, Bu, “ kata Mbok Yah kepada Bu Darmi, tetangga sebelah rumah. Mbok Yah berinisisatif mencari obat untuk menyembuhkan keluarga tempatnya bekerja itu.

“ Apa ada obat buat nyembuhin penyakit itu ya, Bu? “ tanya Mbok Yah kepada Bu Darmi.

“ Wah Mbok, coba saja beli obat antiinfotainmen yang merek Cekerecek, “ kata Bu darmi menasehati. “ Nanti belinya di toko obat Marikabari yang terkenal itu, “ tambah Bu Darmi.

***

Akhirnya Mbok Yah memanggil Mang Usman, tukang ojek langganan, untuk mengantarkannya ke toko obat Marikabari yang terkenal itu.

“ Emang sakit apa Bapak sama Ibu, Mbok? “ tanya Mang Usman kepada Mbok Yah.

“ Bapak sama Ibu sakit tulalit infotainmen. Tapi kalo non Ire sakit hiperfotainmen kata dokter, “ jawab Mbok Yah menjelaskan perihal penyakit yang dialami ketiga majikannya itu.

“ Wah untung istriku cuma mengidap alergi infotainmen. Bukan penyakit yang aneh-aneh begitu. “

“ Alergi infotainmen itu kayak apa, Mang? “ tanya Mbok Yah menuntut penjelasan Mang Usman. “ Apa ada obatnya? “

“ Alergi infotainmen itu nggak bisa nonton infotainmen. Kalo nonton infotainmen istri saya mulai timbul merah-merah dan gatal di seluruh badannya. Obatnya ya paling minum obat anti infotainmen alergi. Atau malah kalau nggak mau sakit dan nggak mau buang duit buat beli obat alergi, ya mendingan nggak usah nonton infotainmen sekalian,” kata Mang Usman menjelaskan.

“ Wah kalo gitu ya malah lebih enak istri sampeyan. Ndak usah repot-repot gara-gara infotainmen.” balas Mbok Yah dengan rasa iri.

***

Akhirnya Mbok Yah sampai di toko obat Marikabari yang terkenal itu. Ia pun segera masuk ke dalam toko.

“ Selamat siang Bu. Ada yang bisa kami bantu? Di sini tersedia berbagai macam obat yang manjur untuk segala penyakit infotainmen yang ditayangkan di semua saluran televisi,” tanya Mbak pelayan toko dengan ramah.

“ Begini Mbak majikan saya itu sakit tulalit infotainmen sama hiperfotainmen gitu. Apa ada obat antiinfotainmen Cekerecek? “ tanya Mbok Yah dengan penuh harap.

“ Oh begitu ya?! Memang obat antiinfotainmen Cekerecek terkenal paling mujarab untuk menyembuhkan penyakit infotainmen apapun. Ada Bu mau beli berapa strip? “

“ Beli enam setrip, Mbak.”

“ Wah banyak amat Bu. Obatnya diminum dua strip juga paling sudah sembuh lho. “

“ Yang sakit tiga orang, Mbak.”

“ Oh, pantesan. Ini obatnya Bu. Bayarnya dikasir. Semuanya total dua belas ribu. Nanti kalau mau minum obat dibaca dulu petunjuknya ya Bu. Petunjuknya ada di bungkus obatnya. Terima kasih Bu sudah berbelanja di toko Marikabari. Kalau ada yang sakit jangan lupa mampir kembali. Kalau sudah sembuh beritahukan pada yang lain kalau Ibu membeli obat di toko obat Marikabari.“

“ Oh, eh iya Mbak nanti saya bilang sama teman-teman saya. “ jawab Mbok Yah dengan sedikit gagap. Mbok Yah segera membayar di kasir. Kemudian Mbok Yah membaca tulisan tertera di bungkus obat tersebut.

Farmakologi :

Kombinasi antinfotainmen dan paragosip dalam Cekerecek merupakan kombinasi yang saling

memperkuat khasiat analgetik ( meringankan rasa sakit ).

  • Indikasi :

  • Meringankan sakit infotainmen dan sakit gosip.

Kontra Indikasi :

Penderita sakit hati digosip

Penderita hipersensitif atau alergi terhadap gosip.

Peringatan dan perhatian :

  • Jangan melebihi dosis yang dianjurkan

  • Bila setelah 3 hari sakit tidak hilan, segera hubungi dokter.

Aturan Pemakaian:

Dewasa dan anak di atas 12 tahun : 2 – 3 X sehari 1 tablet.

Setelah sampai di rumah, Mbok Yah segera memberi makan kepada ketiga majikannya. Kemudian memberikan obat Cekerecek yang baru dibelinya itu untuk diminum

***

Dua hari kemudian obat itu memperlihatkan hasil yang nyata pada ibu Lisda dan pak Aldi. Mereka berdua sembuh. Tetapi Ire tidak menunjukkan tanda-tanda membaik. Tetap seperti biasanya. Tentu saja hal ini menguatirkan Mbnok Yah dan kedua orang tua Ire.

Kekuatiran itu bertambah setelah kaum agamawan menyatakan bahwa infotainmen itu haram labelnya. Ditambah lagi Departemen Penyakit telah mengumumkan bahwa telah terjadi endemik infotainmen. Kedua orang tua Ire semakin menguatirkan kondisi Ire yang tak kunjung berubah.

***

Mbak Jumirah, tukang sayur langganan, mengusulkan untuk memanggil dukun sakti.

" Dulu dukun Gatot itu berhasil menyembuhkan nenek saya dari penyakit suka kawin cerainya itu lho, Mbok. Mendingan bilang sama Ibu panggil dukun Gatot saja, “ ujar Mbak Jumirah dengan yakinnya.

Akhirnya sang Dukun pun dipanggil ke rumah untuk menyembuhkan Ire.

Dukun Gatot pun datang dengan membawa kembang dari tujuh rumah gosip serta air dari tujuh sumur yang terletak di tujuh antena penyiaran. Semuanya dicampur menjadi satu kemudian dicurahkan ke atas kepala Ire.

Sang Dukun sakti pun kemudian komat kamit mengucapkan doa. Tiba-tiba ia berseru dengan suara keras, “ Atas nama Bintang Penasehat Isu, Dewa Gosip dan Peri Rumor. Aku perintahkan hei kau setan infotainmen pergilah keluar daru tubuh anak manusia bernama Ire ini!!!! PERGI!!!! KELUAR KAU!!!!!” Namun sampai tujuh kali doa itu diulang, sampai mulut dukun Gatot berbusa, Ire tetap tidak tersembuhkan.

***

Tante Santi, tetangga sebelah rumah juga, yang bekerja di salah satu kantor urusan bintang, menganjurkan untuk memanggil bintang terkenal, Bulan Maya. Bulan Maya, bintang terkenal itu ternyata sudah divonis oleh dokter menderita infotainment frigid yang akut. Bulan Maya bahkan pernah masuk rumah rehabilitasi untuk mengatasi kecanduan antiinfotainment drugs dan antigossip medicine. Bulan Maya akhirnya menjalani infotainment relaxation therapy. Karena penyakit antiinfotainmen ternyata membawa pengaruh buruk bagi perkembangan karir Bulan Maya.

“ Mbakyu sama Mas mendingan manggil Bulan Maya. Siapa tahu penyakit antiinfotainmen yang dideritanya itu bisa menular pada Mbak Ire. Jadi penyakit Ire bisa dintralisir sama penyakitnya Bulan. Kalau mau nanti saya urus, “ kata tante Santi kepada kedua orang tua Ire.

Akhirnya Bulan Maya pun dipanggil ke rumah Ire untuk tinggal sementara waktu bersama Ire. Bulan Maya diajak sharing, berbagi pengalaman dengan Ire.

“ Gua dulu sama seperti lo doyan banget nonton infotainmen. Gua bahkan bercita-cita harus bisa masuk di infotainmen setiap hari. Tetapi sejak menjadi bintang tenar, bakteri infotainmenium itu selalu membututi gua kemana aja gua pergi. Gua kan jadi terganggu bahkan sedikit alergi dengan kehadiran bakteri-bakteri itu. Bakteri-bakteri itu bahkan membuat cerita yang mengada-ada hanya karena mereka perlu makanan. Itu yang membuat gua meradang. Akhirnya gua jadi trauma dan mulai beralih mengkonsumsi obat – obat antiinfotainmen. Jadi kecanduan deh. Akhirnya gua jadi frigid terhadap infotainmen, “ kata Bulan Maya kepada Ire membagi pengalamannya.

Dua minggu berlalu tanpa hasil sedikit pun. Padahal kedua orang tua Ire sudah berjanji akan membayar mahal kepada Bulan Maya jika berhasil menyembuhkan Ire. Yang paling menyesal adalah tante Santi, karena kehilangan komisi mendatangkan Bulan Maya.

“ Lo gimana sih Bulan? Masak nyembuhin anak ingusan gitu saja nggak bisa? Kita kehilangan uang besar tahu?!! “ kata tante Santi memarahi Bulan Maya.

“ Eh, tante, gua bukan dokter tahu, “ jawab Bulan Maya tak kalah kesalnya.

Yang membuat semakin parah adalah Bulan Maya dan Ire menjadi santapan bakteri infotainmenium. Semua virus infotainmen membahas tentang mereka berdua di televisi. Alhasil Ire terjangkit penyakit narsis yang makin memperparah penyakitnya yang semula.

***

Tante Yohana, tetangga yang juga seorang dokter, menemui kedua orang tua Ire.

“ Sepertinya Bapak sama Ibu sudah harus memikirkan untuk membawa Ire ke rumah rehabilitasi. Saya bisa tulis surat rekomendasi tentang Ire buat Bapak dan Ibu. Kasihan lihat Ire seperti ini terus. Bapak sama Ibu pasti juga sudah lelah. Lebih baik kita serahkan semua kepada ahlinya, “ saran tante Yohana.

Akhirnya diputuskan untuk mengirimkan Ire ke salah satu rumah rehabilitasi terbaik di ibukota.

“ Aku mau nonton infotainmen dulu. Aku mau nonton dulu. AAAHHH……….Tidak, aku mau nonton saja. TIDAAAAAKKK……….INFOTAINMEN…………..INFOTAINMEN……”

Ire berteriak kencang-kencang saat dua perawat membawa Ire pergi dari depan televisi. Rencananya Ire akan diberi perawatan antiinfotainment complete therapy dengan pengobatan antiinfotainment drugs dan antigossip medical treatment serta antiinfotainment spa untuk pemulihannya.

***

Di dalam salah satu ruangan, tampak Ire sedang menonton televisi. Acara infotainmen baru saja dimulai dengan virusnya mengawali pembukaan. Ire pun mulai mendesah pelan.

“ Mmmhhhhh……….mmmhhhhh…”

Semakin panas virus infotainmen berkoar tentang gosip bintang-bintan, semakinIre menjadi bergairah dan mendesah lebih keras.

“ MMMMHHHHH…….MMMMHHHH….”

mendekati setengah jam tiba-tiba terdengar lenguhan kepuasan tak terperi. Ire sedang mengalami orgasme infotainmen.

“ OOOhhhhh….OOooohhhhh………MMMMhhhhh…..”

Ire sedang bercinta dengan infotainmen. Tampak dari jendela Ire sedang telanjang memeluk televisi.

SUPRIH

September 5th, 2006 by malachi-novel

Setengah jam berlalu sejak azan maghrib. Di dalam salah satu pondokan di Ledok Ratmakan, Mbok Sanem sedang melahap makan malamnya. Di ruangan seluas dua kali empat meter persegi itu Mbok Sanem tinggal bersama Mbah Menir, ibunya dan Suprih, anaknya, serta tiga teman sekampung. Sesama perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo. Mbah Menir sedang memijat Suprih yang kelelahan setelah seharian menggendong barang jualan seberat 80 kg naik turun tiga lantai. Sementara yang lain sedang tidur-tiduran di atas papan berlapis tikar.

Ini hari pertama Suprih bekerja sebagai buruh gendong. Sejak kecil Suprih sudah dibawa Mbok Sanem ke pasar. Mbok Sanem mengempitnya, mengeloninya. Mbok Sanem juga yang memberikan tenggok dan selendang serta mengajarinya bekerja. Menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo adalah pekerjaan turun temurun. Bagi buruh gendong seperti mereka, kehidupan adalah apa yang dijalani setiap hari. Harapan hanya setinggi bisa makan tiga kali setiap hari, bisa bayar uang WC dan pondokan. Tak peduli beban gendongan 80 kg telah membuat tulang belakang ngilu. Beban gendongan yang harus dipikul naik turun tiga lantai dari pasar ke tempat parkir adalah metafora kenyataan betapa berat hidup buruh gendong perempuan.

Wong bisanya cuma nggendong thok, ya seberat apapun harus dijalani, Nduk. “ ujar Mbok Sanem menyemangati Suprih.

Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal. Yang penting badan sehat, kuat, dan nggak malu. “

Masa depan bagi seorang Suprih hanyalah menjadi buruh gendong. Mbah Menir yang sudah berumur sekitar 65-an pun masih terus bekerja. Sebagian besar hasil menggendong habis untuk makan dan kebutuhan sehari-hari. Mbok Sanem kadang bisa menyimpan sedikit uang lebih. Tetapi itupun jarang sekali diperolehnya. Hanya saja Mbok Sanem punya keyakinan sendiri. “ Setiap orang punya rezekinya sendiri-sendiri,“ kata Mbok Sanem kepada Suprih. Dulu Mbok Sanem pernah mencoba berdagang tapi malah terlilit hutang. “ Jadi buruh nggendong biar dapat sedikit tapi rasanya lebih tenteram di hati. Nggak usah ngoyo. Mungkin nasib kita memang cuma sampai di sini. “

* * *

Suatu siang Suprih yang sedang menggendong sekarung bawang, berpapasan dengan Lasmi. Lasmi teman sepermainannya dulu di kampung Wates, daerah Kulon Progo. Lasmi sedang pulang kampung setelah beberapa tahun bekerja di Jakarta. Ia menyempatkan berbelanja di Pasar Beringharjo untuk melepas kangen suasana pasar. Sifat Lasmi tetap tidak berubah, tetap ramah dan hangat seperti dulu. Ia yang menyapa Suprih dulu.

Suprih!!,” teriak Lasmi melihat Suprih yang sedang menurunkan sekarung bawang dari gendongannya. Suprih pangling melihat cara dandan dan berpakaian Lasmi yang tampak lebih mewah di matanya. Lasmi memakai kaos dan celana jeans, sementara dirinya hanya mengenakan kain batik dan kebaya tua lungsuran Mbok Sanem.

Kasihan kamu, Prih. Berat sekali gendonganmu. Apa Simbok dan Simbah masih nggendong juga?, “ tanya Lasmi.

Ya Las, sudah turunan. Apalagi yang bisa dikerjakan selain nggendong. Nggak butuh ijazah tinggi. Yang penting sehat, kuat dan nggak malu. Yaa biar duitnya sedikit yang penting halal dan cepat dapatnya, “ jawab Suprih mengulang kata-kata Mbok Sanem.

Kamu kok betah toh di sini? Duitnya kan nggak seberapa. Cepat habis lagi buat hidup sehari-hari. Apa kamu ndak kasihan sama Simbok dan Simbah yang masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua itu? Kamu ndak mau ikut aku ke Jakarta? Uangnya lebih banyak lho. Gampang lagi dapatnya. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Bisa kamu simpan dan kasih ke Simbok dan Simbah. Di sini paling kamu dapat berapa sih? Bukan mau ngenyek, tapi kamu tahu sendiri kerja seperti ini kan kamu ndak bisa pasang tarif seperti yang kamu mau. Di Jakarta bisa. Di sini dapat uang lebih itu kalau ada langganan yang bermurah hati saja. Di Jakarta asal kamu kasih

servis lebih, tipnya besar lho. “

Perkataan Lasmi jelas menggoda Suprih untuk mengambil keputusan pergi ke Jakarta. Suprih benar-benar terlena dengan penjelasan Lasmi. Suprih juga ingin membantu Simbok dan Simbah. Suprih tidak ingin uang banyak. Uang banyak belum tentu tenteram. Tapi Suprih juga ingin kaos dan celana jeans. Suprih ingin melihat Jakarta dan membuktikan di sana ia dapat dengan mudah mendapatkan uang banyak supaya Simbok dan Simbah bisa hidup tenang di kampung.

Memang kamu kerja apa di Jakarta, Las?, “ tanya Suprih dengan polosnya.

Eh, ehmm… jadi pelayan Prih. Enak kerjanya di tempat kayak restoran begitu. “

Oohhhh… “

* * *

Kamu yakin mau ke Jakarta, Nduk? “ tanya Mbok Sanem.

Iya Mbok. Aku mau cari kerjaan yang lebih baik supaya SiMbok dan SiMbah nggak usah nggendong lagi. Bisa hidup lebih tenang di kampung, “

Tapi Simbah dan Simbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah repot mikiran Simbok dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai daging syukur. Tapi kalau besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap bersyukur masih bisa makan. Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu Yatin, Mbah Besur dan Yu Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan, “ tambah Mbah Menir.

Tapi kalau kamu sudah niat ya nggak apa-apa. Simbok dan Simbah rela kok. Yang penting kamu bisa jaga diri. Ingat lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. Ini ada sedikit uang buat ongkos berangkat ke Jakarta. Kalau kurang kamu bisa jual kain batik lama punya Simbah. Lumayan kalau dijual bisa buat nambah ongkos.“

Terima kasih, Mbok. Terima kasih ya, Mbah, “ jawab Suprih sambil meremas tangan Mbah Menir dengan erat.

* * *

Sebenarnya ada sedikit keraguan terbersit di hati Suprih untuk berangkat ke Jakarta. Restu Simbok dan Simbah justru mengurangi semangatnya. Ada perasaan tidak enak mengganjal di hatiya. Tetapi Suprih sudah mengambil keputusan dan sekarang sudah sampai di Jakarta bersama dengan Lasmi. Lasmi akan membawanya ke pondokan tempat Lasmi tinggal dan mengenalkannya kepada Mami pemilik pondokan itu.

Prih, ini Mami yang akan menampung kamu kerja di sini. Mam, ini Suprih yang saya ceritakan itu, “ kata Lasmi menjelaskan kepada Mami.

Wah cantik seperti putri Solo. Eh, tapi kamu bukan putri Solo ya tapi putri Yogya. Ya sudah Las, nanti malam kamu pinjamin dulu baju kamu. Sekarang si Suprih dipotong dulu saja rambutnya. Bikin model shaggy biar cantik seperti Alya Rohali. Sana ajak Suprih ke salonnya Andri. Oh ya minta Andri melulur Suprih sekalian biar wangi. Nanti malam ada tamu penting datang. Kamu juga kalau mau lulur boleh Las. Biar Mami yang bayar nanti. Suprih nanti malam kamu mulai kerja ya?! Biar bisa cepat kirim uang untuk Simbok dan Simbah kamu di Yogya. “

Ya Bu, “ jawab Suprih sambil tersenyum. Suprih senang. Seumur-umur ia belum pernah masuk salon.

Sementara dilulur, Suprih merasa bersalah. Suprih teringat Mbah Menir yang suka memijat dirinya kalau ia tampak lelah. Suprih jarang memijat Mbah Menir yang justru lebih sering minta dipijat sama Mbah Besur. Sementara rambut Suprih dipotong, teringat ia saat Mbok Sanem mengurus rambutnya yang panjang mencapai pinggang. Biasanya Mbok Sanem yang mengoles rambutnya dengan kemiri atau santan. Rambutnya jarang dipotong. Cukup digelung saja. Ada rasa sedih karena kangen akan suasana di pondokan. Padahal ia belum lagi sehari menjejakkan kaki di Jakarta.

Tetapi bayangan penampilan baru Suprih yang tampak di cermin segera menghapus kesedihan itu diganti dengan seulas senyum di wajahnya. Terhapus sudah rasa kangen itu dengan rasa kagum akan kecantikan dirinya sendiri. Suprih tidak menyangka ia bisa secantik ini hanya dengan model potongan rambut yang baru. Padahal ia masih mengenakan blus dan rok tua yang diberikan anak perempuan pedagang besar tempat ia bekerja.

Wah, kamu jadi tampak cantik sekali Prih! “ ujar Lasmi berseri-seri melihat hasil temuannya. Sudah terbayang di benak Lasmi bonus besar dari Mami karena berhasil membawa primadona baru dari kampung yang akan menambah pemasukan Mami. Suprih hanya tersenyum malu-malu. “ Mami pasti senang melihat penampilan kamu yang baru. Ayo kita pulang dan pilih baju yang akan kamu pakai nanti malam. Andri, terima kasih ya. Ongkosnya nanti minta sama Mami saja. “

Oke deh kakak. Nanti akika minta sama Mami,” jawab Andri manja.

* * *

Kamu pakai yang ini saja, Prih! “ kata Lasmi sambil menyodorkan sebuah gaun terusan hitam tanpa lengan. “ Sepatunya pakai yang hitam saja. Biar serasi.”

Suprih melepas kemeja dan roknya. Menggantinya dengan gaun hitam itu. Ada perasaan aneh terbersit di hatinya. Gaun ini sangat terbuka sampai bahu, punggung, lengan dan sebagian belahan dadanya terlihat. Ada rasa risih dan malu mengenakan gaun hitam itu. Dalam hati Suprih bertanya restoran seperti apakah yang pakaian pelayannya seperti ini?

Sekarang kamu ke sini biar aku dandanin. “

Suprih berjalan kaku dalam sepatu dengan hak setinggi 9 cm. Suprih melihat bayangan dirinya sendiri yang bertambah tinggi di dalam cermin. Ada rasa bangga melihat dirinya terlihat seperti perempuan di dalam majalah di salon.

Nanti nama kamu diganti dulu jadi Shanti. Biar keren seperti penyanyi Shanti. Ingat ya Shanti. Jadi jangan lupa pas dipanggil,“ ujar Lasmi sambil memoles wajah Suprih. “ Jangan lupa tersenyum. Kalau jalan yang anggun. Nanti aku tunjukkan sama kamu. Nah, beres sudah make up-nya. Nah, begini lho jalannya. “ Lasmi memperagakan cara berjalan yang anggun seperti kucing. “ Sekarang kamu coba! “

Suprih pun mencoba melangkahkan kaki seperti kucing dengan sepatu haknya yang tinggi itu. “ Masih agak kaku, tapi ya sudahlah. Nanti lama-lama kamu juga bakal terbiasa. Sekarang ayo kita berangkat. Mobil jemputan sudah menunggu. “

Mobil itu membawa Suprih, Lasmi dan teman-teman barunya ke kawasan Kota. Restoran itu remang-remang suasananya. Suprih disuruh menunggu bersama yang lain sambil memegang kartu dengan nomor 18 dalam sebuah ruangan dengan kaca. Di dalam ruangan itu Suprih bisa melihat di ruangan sebelah beberapa lelaki sedang melihat-lihat ke arah mereka. Seorang lelaki rapi berkulit putih agak gemuk melihat kepadanya terus.

Shanti kamu ke sini! “ panggil Mami. Suprih berjalan ke ruangan sebelah tempat Mami dan lelaki itu berdiri. “ Shanti kamu temanin Bapak ini ya! Pak Tommy kenalkan ini Shanti. Shanti ini pak Tommy. Ayo salaman Shanti. Maaf Pak, Shanti masih baru di sini jadi masih malu-malu. Silahkan Pak, kamarnya nomor 501“

Lelaki itu menggenggam tangan Suprih dan menggandengnya menuju kamar bernomor 501. Ada tempat tidur di sana. Lelaki itu mengajak Suprih mengobrol. Tetapi pikiran Suprih melayang ke pasar Beringharjo. Bayangan Simbok dan Simbah menggendong karung seberat 50 kg berjalan menuruni tangga pasar. Ada rasa berontak di dalam hatinya saat lelaki itu mulai membuka pakaiannya.

Terngiang suara Simbok dan Simbah di benaknya, “ Tapi SiMbah dan SiMbok sudah nrimo kok hidup seperti ini. Kamu ndak usah repot mikiran Simbok dan Simbah. Kalau hari ini cuma bisa makan nasi pakai daging syukur. Tapi kalau besok harus makan nasi sama tempe tok ya tetap bersyukur masih bisa makan. Kalau pun Simbok atau Simbah sakit masih ada Yu Yatin, Mbah Besur dan Yu Rubiyem yang mau mijetin dan membagi makanan. Yang penting kamu bisa jaga diri. Ingat lho Nduk. Hati-hati di Jakarta banyak orang jahat. “

Air matanya mengalir saat lelaki itu mulai menggauli tubuh Suprih. Teringat kata-kata Lasmi. “ Apa kamu ndak kasihan sama Simbok dan Simbah yang masih mesti nggendong puluhan kilo di umur setua itu? Uangnya lebih banyak lho. Bisa kamu simpan dan kasih ke Simbok dan Simbah supaya mereka nggak harus nggendong terus. Seminggu kamu bisa mendapat ratusan ribu. Di Jakarta asal kamu kasih servis lebih, tipnya besar lho. “

Keringat lelaki itu bercampur dengan air mata Suprih. Suara Simbok kembali terngiang di kepala Suprih. “ Nggendong itu nggak perlu ijazah. Dapat uangnya biar sedikit tapi cepat dan halal.”

* * *

Sementara itu di pondokan Mbok Sanem di Ledok Ratmakan.

Praanggg……

Terdengar suara gelas pecah akibat Mbok Sanem menyenggolnya tanpa sengaja sampai jatuh. “ Aduh ada apa ya sama Suprih ya Mbah? Aku takut ini pertanda buruk. “

Sudah kita berdoa saja supaya Suprih selamat. Dia kan berangkat dengan niat baik, “ harap Mbah Menir.

.

kau tidak pantas menjadi ayah

May 10th, 2006 by malachi-novel

kaupikir dengan semua biaya yang kau keluarkan
untuk hidupku
sejak kulahir hingga saat ini
mensyahkanmu menjadi ayahku
kaupikir dengan kasih sayangmu yang tidak kumengerti
kau layak untuk menjadi ayahku
apa kasih sayang dibuktikan dengan kata-kata pedas
tamparan dan pukulan sampai kepalaku membentur dinding
apa kasih sayang dibuktikan dengan kebenaran diri sendiri
meskipun semua orang tahu kau yang salah
seandainya aku bisa memilih sendiri ayahku
tapi aku tidak dapat memilih
sehingga ada yang ingin kusampaikan kepadamu
yang merasa sebagai ayahku
semua biaya yang kaubayarkan
semua uang yang kaukeluarkan
sejak aku lahir hingga saat ini
tak dapat menghapus semua kenangan buruk yang kautoreh di benakku
tak dapat menghilangkan amarah yang menumpuk karena kelakuanmu
tak dapat membalut luka-luka yang kausayat di hatiku
tak dapat menyembuhkan biru lebam hatiku
yang kaubuat sejak aku kecil
hingga saat ini
membuatku merasa kau tidak pantas menjadi seorang ayah
apalagi menjadi ayahku
sedikitpun kau tak layak
dan tak memenuhi syarat

BUAT DIA YANG SELALU MERASA BENAR

May 8th, 2006 by malachi-novel

aku berdosa KAU benar

aku salah KAU tetap benar

aku berusaha benar KAU merasa benar

aku agak benar KAU jauh lebih benar

aku benar KAU mahabenar

aku selalu merasa salah dan KAU
selalu merasa benar

apapun yang kulakukan aku tetap
salah

karena KAU merasa diriMU yang
paling benar

apapun yang kuperbuat aku tetap
berdosa

karena KAU merasa diriMU mahabenar

KAU mahabenar karenanya aku
mahasalah

KAU merasa paling benar

KAUbuat diriku paling berdosa

Padahal KAU sendiri yang salah tapi selalu merasa
benar

SURAT UNTUK ELOI

April 30th, 2006 by malachi-novel

Eloi

Ada sesuatu yang mengganjal di hati

Sesuatu yang tak bisa kuhindari

Sejak aku lahir ke bumi

Sesuatu yang kusesali

Tiap malam kuratapi

Eloi

Kenapa aku jadi begini

Seorang diri

Hanya sedikit yang mau mengerti

Apa yang kuingini

Hanyalah menerima keadaanku seperti
ini

Tanpa benci

Tanpa caci

Dari mereka laki-laki dan wanita
sejati

Yang selalu menyumpahi

Diriku yang seperti banci

Eloi

Tahukah kau aku merasa seorang diri

Tanpa sahabat sejati

Tempat aku mencurahkan isi hati

Yang ada hanya lelaki

Yang melampiaskan hawa nafsu
jasmani

Pada diriku seorang banci

Eloi

Hambamu selalu mengabari

Kau selalu hadir di sampingku di
sini

Saat aku hancur hati

Tetapi mengapa aku merasa dikibuli

Karena kau terasa jauh di tempat
tinggi

Di tahtamu yang tak terperi

Sementara aku hanya banci di titik
bumi

Yang kautolak masuk pintu surgawi

Karena aku hanya banci yang tak
tahu diri

Berharap terlalu tinggi

Padahal sejak dulu kusadari

Semua tidak layak kuraih

Karena aku hanya sampah yang
dijauhi

Mengotori pelataran surgawi

Eloi

Apa yang kulakukan tak dihargai

Apa yang kuraih tak berarti

Semua pengorbanan tak dinilai

Semua air mata tumpah hanya bisa
kusesali

Eloi

Hambamu bersabda kau sempurna tak
terperi

Tapi mengapa kau ciptakan aku
begini

Cacat atau sakit tak perlu
diselidiki

Karena tetap saja aku seperti ini

Banci yang tidak berarti

Dibuang ke bawah lapisan bumi

Tempat dunia orang mati

Dihindari oleh mereka lelaki dan
wanita sejati

Kesepian seorang diri

Merindukan kasih sayang yang sejati

Tapi hanya putus asa yang kutemui

Eloi

Eloi

lama sabakhtani

S E P I M A U M A T I

April 19th, 2006 by malachi-novel

Aku bosan

Tak ada yang berkesan

Waktu merangkak berjalan

Hanya kehampaan

Menghadang di pikiran

Di sini sendiri

sepi menghantui

lesu mencekam hati

diam tak berarti

Kosong datang

Angan melayang

Keriangan terbang

Hampa mengambang

Kesenduan datang

Kemurungan menerjang

Aku lelah

Banyak masalah

Seperti air bah

Tumpah ruah

Menyesah tak kenal lelah

Tak berarti

Rasanya memeluk hati

Mengoyak rohani

Rasanya ingin mati

Bunuh diri

E-MAIL DARI AYAH DIAN

April 19th, 2006 by malachi-novel

Date: 23 Mei 2004

Kemarin Dian menerima dua e-mail baru yang belum sempat dibacanya. Satu dari ayahnya. Dian malas membacanya. Ia merasa tidak perlu mendengar penjelasan ayahnya lagi. Tetapi dibukanya juga e-mail itu sembari mengklik ikon e-mail tersebut.

………………………………………..

Date: 22 Mei 2004

To: Dian Suryasudiro

From: Tommy Suryasudiro

Subject: Ayah harap

…kamu mau membaca e-mail ini. Ayah kelihatannya baik-baik saja di luar tetapi di dalam batin ini rasanya lelah sangat. Ayah minta maaf atas kesalahan ayah. Untuk menjelaskannya ayah tidak tahu harus mulai dari mana. Ayah mengerti kalau kamu merasa jijik dengan ayahmu ini. Kadang-kadang ayah sendiri tidak mengerti bias sampai sejauh ini. Tetapi ayah rasa sudah tidak sanggup lagi jika harus berpura-pura lagi. Meskipun sebenarnya sangat disayangkan jika sudah harus menyerah sekarang. Seakan-akan sia-sia semua pergumulan ayah selama ini. Tetapi ayah juga bingung pergumulan ini untuk siapa sebenarnya. Ayah merasa sudah berada pada puncak batas kekuatan ayah jika harus melanjutkan berpura-pura lagi sepanjang sisa hidup ayah. Karena ayah merasa sendirian. Keadaan dan lingkungan begitu berat untuk dihadapi. Yang ayah tahu hanya ibumu yang mendukung ayah selam ini.

Semua berawal waktu ayah masih kuliah. Waktu itu aku, ibumu berteman dengan Sylvia. Tetapi aku lebih dekat dengan Sylvia. Cinta karena biasa bersama-sama. Itu yang aku rasakan terhadap Sylvia. Aku tahu Sylvia akan menjadi istri dan ibu yang baik. Ia selalu berkata bahwa ia ingin menjadi ibu rumah tangga atau guru TK. Meskipun kuliah yang kami tempuh tidak ada hubungannya sama sekali dengan hal itu.

Aku mencintainya meskipun ia memiliki kekasih. Aku tidak bermaksud mengganggu hubungannya. Aku selalu berdalih cinta tidak harus memiliki. Padahal aku terlalu pengecut untuk mengungkapkan perasaanku padanya. Terlalu banyak dalih meskipun aku harus menahan sakit di dalam dada melihat hubungan mereka. Itu pilihanku dan aku harus menanggung resikonya. Bahkan untuk pindah ke lain hati saja aku selalu membandingkannya dengan Sylvia. Saat itu baru aku mengerti betapa menyesakannya gambaran patah hati dalam lagu tentang cinta. Aku harus membayar harganya sendiri.

Aku takut Sylvia menolak cintaku. Dan itu akan menjauhkanku dari dirinya. Aku tidak mau ditinggalkan seperti itu. Terlalu berat buatku. Sylvia adalah gairah hidupku saat itu. Aku ingin menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Lagipula dengan kondisiku, apa ada perempuan yang mau menerima diriku apa adanya. Apalah aku dibandingkan dengan kekasihnya Sylvia yang jauh lebih baik daripadaku sebagai laki-laki. Aku Cuma banci di mata orang lain.

…………………………..

Dian menutup e-mail ayahnya tersebut. Kemudian mengklik e-mail yang satu lagi dari ibunya. Dan mulai membacanya.

………………………………………

Date: 22 Mei 2004

To: Dian Suryasudiro

From: Cynthia R. Suryasudiro

Subject: Jangan

…..salahkan ayahmu, Yan. Ia sudah cukup menderita sepanjang hidupnya bergumul untuk menyangkal dirinya sendiri. Jangan tinggalkan dia. Maafkan ayahmu. Ia sudah lelah. Itu yang ia bilang pada diriku. Mungkin dia bukan ayahmu yang sejati. Tapi dia yang menganggapmu sebagai anaknya sendiri. Ayah sejatimu tidak lebih baik dari dirinya. Hanya seorang banci pengecut.

Dulu bajingan itu merayuku dengan janji kami akan menikah. Ternyata setelah aku mengandungmu bajingan itu telah menghilang bersama taman baikku sendiri, Sylvia. Betapa hancur rasanya hidupku saat itu. Terpikir ingin bunuh diri saja. Tetapi ayahmu yang datang menghiburku, menguatkanku, memberiku semangat hidup. Menakjubkan bagiku saat ini mengingat waktu itu. Karena aku tahu hatinya hancur karena Sylvia. Waktu itu kakekmu ingin membunuhku karena aib yang kulakukan. Tetapi ayahmu sendiri yang memberanikan diri untuk melamarku di hadapan kakekmu untuk menyelamatkanmu dari aborsi dan nama keluarga kita.

Aku tahu sebenarnya ayahmu menginginkan pernikahan ini untuk mengangkat harkatnya sebagai lelaki sejati. Pernikahan ini adalah pelarian bagi kami berdua yang sama-sama disakiti. Kelihatannya tidak tulus. Tetapi tidak seburuk itu keadaannya. Bahkan ayahmu adalah hal terindah yang terjadi dalam kehidupanku. Dia yang terbaik.

Ayahmu itu sahabat sejatiku. Sebelumnya hubungan kami sangat platonik. Awalnya aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa saja. Tetapi lama kelamaan aku jatuh cinta padanya. Aku jatuh cinta dengan perhatiannya, kelembutannya, kasih sayangnya dan pengorbanannya kepadaku. Ia sangat mengerti apa yang sedang kurasakan bahkan sebelum hal itu terungkap dari mulutku. Ia tahu hal-hal kecil yang membahagiakanku yang sulit untuk dilakukan pria pada umumnya. Ia tahu jika aku sedikit memotong rambutku. Tidak pernah sedikitpun ia berlaku kasar terhadapku.

Aku rasa karena kami telah mengalami sakit hati yang sama membuat kami saling menjaga perasaan masing-masing. Itulah sebabnya aku berani membelanya di depan orang lain yang tega menghujatnya. Ia bukan orang yang akan melawan. Ia hanya menerima hujatan itu seakan memang layak menerimanya. Ia juga bukan orang yang pandai berkata tajam. Ia hanya bisa diam dalam sedih yang terpancar dari matanya. Apa urusan mereka sehingga tidak dapat mengekang lidah mereka yang tajam itu.

Aku tahu kamu marah melihat ayahmu berdua dengan lelaki itu. Aku tahu betapa keras ia berusaha menyangkal dirinya. Menutupi segala kekurangan dirinya dariku, darimu dari keluarga besar kita. Aku tahu ia hidup dengan kekuatiran setiap detik sepanjang hidupnya kalau-kalau rahasianya itu terbongkar. Kadang aku menemukannya duduk termenung seorang diri tengah malam. Kadang aku mendengar isak tangisnya saat kami tidur. Aku tahu. Aku mendengar. Aku merasakan kesedihannya. Tetapi aku tidak dapat menolongnya. Kalau ia menangis berarti ia sudah tidak sanggup lagi. Hanya dengan menagis seakan beban itu terlepas. Aku juga tidak igin mendesaknya untuk bercerita kepadaku. Kadang sesuatu lebih baik didiamkan dulu seakan tidak terjadi apa-apa.

Sampai suatu malam ia membangunkanku. Aku bertanya mengapa ia menangis. Ia menjawab ia tidak sanggup harus menjelaskannya padaku. Katanya terlalu berat karena dapat mengubah kehidupan keluarga kita. Ia ingin semua berjalan normal, tetapi tidak bisa. Aku bilang kalau memang harus seperti itu lebih baik daripada harus berpura-pura terus. Aku bilang aku mau menanggung beban itu bersamanya, meskipun itu memang menyakitkanku juga. Dan ia pun mengakui perselingkuhannya dengan lelaki itu.

Betapapun menyakitkannya perselingkuhan itu, tetapi aku tahu ia tidak bermaksud menyakitiku. Aku mencintainya. Kalau kau mencintai seseorang dengan segenap hatimu, cinta itu akan menutu segala kekurangan, dosa dan kesalahan orang yang kau cintai. Sehingga dengan cintamu, ia tidak perlu meminta maaf kepadamu. Cintamu itu yang membuatmu mampu memaafkannya.

Malam itu kami berdua menangis bersama-sama sambil berpelukan. Beban itu terlepas darinya. Sekarang aku yang harus kuat menanggung beban itu. Karena cintaku kepadanya aku rasa aku sanggup melakukannya. Esoknya adalah pagi terindah bagiku. Karena melihat ayahmu begitu bahagia. Aku ingin merasakan sinar kehangatan di wajahnya mengisi hari-hariku lagi. Pengakuan itu membebaskannya dari penjara kepura-puraan.

Bukan aku merestui perselingkuhan itu. Aku tidak bisa mencegah atau melarangnya. Aku melakukannya untuk membalas pengorbanannya, kasih sayang dan kebaikannya kepadaku. Aku tahu ada lembaran dalam hatinya yang aku tidak bias mengisinya. Biarlah lelaki itu yang mengisinya. Yang penting ia bahagia. Dan ia bias membagi kebahagiaanya kepadaku. Tidak ada yang lebih baik daripada melihat kebahagiaan orang yang kaucintai.

Jadi jangan kaubenci ayahmu. Jangan membunuhnya dengan kata-katamu itu. Mungkin kauanggap ibumu ini bodoh. Tetapi jika kau memiliki cinta seperti yang kurasakan, kau akan mengerti. Cinta itu berarti berani berkorban untuk orang yang kaucintai.

Dengan cinta,

Ibumu

……………………………………………….

Ada kesedihan dalam mata Dian. Ia melanjutkan membaca e-mail dari ayahnya.

…………………………………..

dengan kekasihnya Sylvia yang jauh lebih baik daripadaku sebagai laki-laki. Aku Cuma banci di mata orang lain.

Itu jabatan yang dianugerahkan sejak ayah kecil. Dari keluargaku sendiri. Dari teman-temanku. Harga diri ayah hancur sejak kecil karena malu. Kata-kata itu terang-terangan atau berbisik rasanya memutilasi hatiku. Aku hanya bisa menangis menyesal kenapa harus lahir ke dunia dalam keadaan seperti ini.

Ayahpun marah kepada tuhan yang membiarkan ayah lahir ke bumi ini. Aku menyalahkannya yang tidak menjawab pertanyaanku. Atau jawabannya yang tidak sesuai dengan keinginanku? Entahlah. Apa aku harus menjadi seorang perempuan? Rasanya tidak. Tetapi apakah jiwa dan roh memiliki kelamin? Aku tidak mengerti. Apakah kelamin sehingga ia menentukan perasaan, pikiran, perbuatan dari jiwa dan rohmu? Apa ada hal selain buah dada, liang dan batang yang menentukan jiwa dan rohmu adalah lelaki atau perempuan?

Yang ayah inginkan dari orangorang di sekeliling ayah adalah menerima ayah apa adanya. Tetapi ternyata tidak bisa. Apapun ayah lakukan untuk menyenangkan orang lain tetapi mereka malah menghujat ayah. Apapun yang ayah lakukan selalu salah di mata mereka. Mungkin mereka bisa orgasme dengan menghujat ayah.

Hanya beberapa teman yang mengerti dan menerima diri ayah apa adanya. Teman-teman perempuan ayah. Ayah adalah every girl’s best friend. Ayah hanya satu diantara mereka. Tanpa mereka sadari bahwa ayah jatuh cinta kepada satu di antara mereka, Sylvia. Sylvia membuat ayah bertahan untuk tidak jatuh ke dalam pelukan laki-laki. Mudah bagi ayah untuk tergoda secara fisik kepada lelaki lain. Tetapi tidak mudah bagi ayah untuk jatuh cinta kepada seorang perempuan.

Tetapi ayah tahu Sylvia tidak merasakan apa yang ayah rasakan. Ayah hanya teman baiknya. Tidak cukup jantan untuk jadi kekasihnya. Itu yang tidak terucap tetapi tersirat di matanya. Sylvia malah pergi dengan kekasih ibumu meninggalkan kekasihnya. Itu menghancurkan hati ayah. Seakan sia-sia semua yang ayah lakukan baginya.

Saat itu ayah lihat ibumu membutuhkan seorang lelaki. Itu buat ayah adalah kesempatan bagi ayah untuk menjadi lelaki seutuhnya. Ayah tahu ibumu tidak akan menolak ayah. Tetapi ternyata keadaan tidak berubah ayah tetap menjadi banci. Sekarang ayah merasa lebih bahagia jika ibumu memilih lelaki lain. Karena ayah merasa hanya membohongi hatiku sendiri. Bukannya aku tidak mencintai ibumu. Hanya saja aku terlalu impotent untuk mencintainya sebagaimana seorang suami kepada istrinya. Ayah hanyalah lelaki palsu betapapun ayah berusaha menjadi lelaki sejati. Ayah merasa cinta ayah tidak ada artinya dibandingkan cinta ibumu. Begitu besar pengorbanannya untuk ayah. Ia bias menerima kekurangan ayah karena ia terlanjur mencintai ayah. Ia terperangkap dalam pernikahan dan perselingkuhan ayah.

Maafkan ayah yang tidak pernah puas dengan cinta ibumu. Memang aku yang tidak sanggup menahan gejolak ini. Setiap kali bercinta dengan ibumu aku harus berfantasi bahwa ia adalah lelaki lain. Suatu perselingkuhan batin. Gejolak yang mendorongku selalu mencari cinta yang lain yang tidak dapat diberikan ibumu. Entahlah mungkin itu hanya hawa nafsuku saja . sebab apalah artinya tubuh lelaki lain jika dibandingkan dengan cinta ibumu. Sungguh aku ini tidak tahu berterima kasih.

Maafkan ayah yang sudah membuatmu malu. Yang membuatmu harus ikut menanggung semua hujatan itu. Ayah mengerti kalau ini sangat berat bagimu. Percayalah ayah sudah menanggungnya seumur hidupku. Tetapi yang menyakitkan adalah kata - katamu itu. Ayah mengerti kalau kamu terlalu sakit hati.

Ayahmu hanya keset yang bertulisan ‘welcome’ siap menampung kotoran sepatumu. Seperti tempat pembuangan ludah itu hati ayah. Penghakiman ayah sudah sejak lama. Inilah ayahmu, hanya seorang banci. Hidup dan matinya tak lebih seperti neraka. Nerakalah yang mau menerima dan mendekap ayah. Ayah hanyalah anak kebinasaan yang lebih baik baginya jika tidak dilahirkan. Seorang yang sakit dengan cacat DNA. Sehingga surga menutup pintunya bagiku. Bumi memuntahkan ayah. Lelaki menginjak ayah. Perempuan menolakku. Karena ayah bukan salah satu dari mereka. Ayah hanya diantara mereka. Kelabu. Rasanya cukup sampai disini saja. Ayah tidak akan menyakiti hati ibumu dan kamu lagi. Ayah sudah lelah terus disakiti. Lebih baik menutup lembaran hidup ini.

Maafkan ayah kalau kau menyayangi ayah

Ayahmu

……………………………………………………………

Air mata penyesalan menetes melintas di atas pipi Dian yang bersemu merah menahan sesal. Ia menyalakan telepon genggamnya yang baru saja saj selesai diisi batereinya. Ada pesan baru masuk. Ternyata ada enam panggilan tak terjawab dari ibunya. Kemudian nada berbunyi. Pesan dari ibunya tiba. Segera ia membaca pesan itu.

……………………………………………………….

Cepat pulang yan kenapa

Hpmu tidak diangkat2

Telpon kos juga sibuk

Ayahmu mati

Bunuh diri semalam

Ibu gak sangka ayahmu

Nekat berbuat itu

Dia cuma meinggalkan surat

Di komputernya

Sender:

Ibu

+62718193473

Sent:

23-May-2004 07:045:32

Dian segera berkemas dan mengambil dompetnya meninggalkan kamar kosnya dengan pintu terbuka. Berlari menuju ke halte bus sambil menangis.

Petugas kebersihan kantor menemukan Bapak Tommy sudah kaku di depan mejanya. Hanya ada tulisan di komputernya untuk Cynthia, istrinya.

…………………………………………………………

Cynthia, aku minta maaf atas segala dosa, kesalahan dan kekuranganku sebagai suamimu. Aku tidak berharga dan tidak layak jadi suamimu. Terima kasih untuk semua cinta, pengorbanan, pengertian dan dukunganmu selama kita hidup bersama. Aku tidak ingin menyakitimu dan dian lagi. Aku lelah. Aku ingin menutup lembaran hdupku.

Maafkan aku dengan cintamu

Tommy Suryasudiro

C E R A I

April 19th, 2006 by malachi-novel

…….Pada hari kami tiba di Jakarta kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Ayah, ibu dengan satu anak lelaki dengan kondisi ekonomi mapan. Pertengkaran kecil adalah satu hal yang menurutku biasa terjadi di antara ayah ibuku atau aku, anak mereka, dengan mereka berdua.

“Selamat pagi,” selalu dikatakan Papa setiap pagi di meja makan.

“Susunya jangan lupa dihabiskan,”lanjutnya. Atau “ Vitaminnya jangan lupa diminum!”

“Kamu mau rotimu diisi apa?” tanya mama sambil memoles roti dengan mentega.

“Coklat,” yang biasa kusukai. Meski kadang aku minta selai black cherry.

Kira-kira seperti itulah gambaran keluarga kami memulai hari bersama-sama setiap pagi di meja makan. Papa dan mama adalah pekerja keras. Pergi pagi untuk berangkat bekerja. Pulang larut malam. Kami jarang bertemu dan jarang berbicara. Karena begitu semangatnya bekerja sehingga aku, notabene anak kandung mereka, mungkin hanya bertemu satu jam setiap harinya. Itu sudah terjadwal. Aku tidak mengerti mengapa kedua orangtuaku lebih mengutamakan pekerjaannya daripada anaknya.

“Yang penting kualitas pertemuannya bukan kuantitasnya.”

Omong kosong besar. Seakan-akan mereka dapat membuat setiap kali pertemuan dengan anaknya adalah satu pertemuan dengan kualitas yang top seperti talkshow Oprah. Bagaimana dapat meningkatkan kualitas hubungan orang tua dan anak jika kuantitas pertemuannya saja terbatas. Bahkan setiap kali bertemu pun waktunya sekejap mata saja. Belum termasuk waktu-waktu yang seharusnya bersamaku dikorupsi untuk pekerjaan lembur mereka di kantor. Pekerjaan telah mengisi sebagian besar ruang di dalam hati mereka. Bahkan telah menjadi berhala mereka. Mereka lebih bergairah bekerja daripada menghabiskan waktu bersamaku. Mungkin pekerjaan mereka adalah saudara kandungku. Atau bahkan anak tunggal mereka.

Entahlah mungkin gaya hidup yang tinggi dan glamour yang mereka kejar. Atau mereka terlalu kuatir kalau-kalau harus hidup agak susah dan sedikit miskin. Sehingga hubungan keluarga kami sebagai manusia terabaikan. Bahkan mereka berusaha mewariskan sisi workaholic mereka kepadaku dengan sederetan jadwal les yang harus kuikuti. Menjadikanku lesaholic dan lulus dengan pujian. Hahaha.

Seperti alasan klise para orang tua pada umumnya. “Mama kan bekerja untuk kamu juga,” mamaku bersabda. “Papa kerja lembur itu untuk kita, untuk kamu,” papa juga tidak mau kalah. Semua harus lebih baik, yang terbaik. Sekolah terbaik, tempat les terbaik, rumah terindah, mobil termewah, busana terkenal. Sekolah yang terbaik. Huh. Memangnya mereka yang sekolah? Sekolah yang memperbudakku dengan kurikulum nasional dan internasional yang mereka banga-banggakan. Memenjarakanku sejak pukul delapan pagi sampai pukul tiga sore. Apa bedanya sekolah atau berkantor? Tipis. Belum lagi guru-gurunya yang berbakat dalam menyiksa dengan pekerjaan rumah yang membuatku sibuk 16 jam sehari, menyaingi pekerjaan seorang akuntan. Untuk membayar penganiayaan itulah orang tuaku lebih suka menyikasa diri di kantor. Demi jabatan, demi penghasilan lebih besar, demi gaya hidup lebih tinggi lagi. Demi memuaskan keinginan mata dan nafsu supaya dapat hidup lebih jumawa lagi. Kalau menghabiskan waktu bersamaku tentu mereka tidak akan memperoleh semua kenikmatan dunia itu.

Memang aku menyukai segala kemewahan yang kudapat dari kedua orang tuaku. Tetapi bukan berarti dengan hidup mewah lantas semua masalah selesai kan? Ada saat dimana aku lebih membutuhkan kehadiran mereka. Aku butuh mereka hadir secara pribadi untukku, ada untukku. Menyapaku dengan kehadiran mereka. Bukan hanya suara dengan kata-kata manis di telepon. Aku butuh mereka untuk hadir secara utuh berbicara denganku, menguatkanku, memberiku semangat, membuatku tersenyum. Hadirnya mereka berarti mereka mencintaiku lebih dari pekerjaan mereka dengan memberikan seluruh hidup, tubuh, jiwa, roh, waktu, tenaga, pemikiran, perasaan, dan pengorbanan finansial yang seharusnya bias mereka peroleh dari pekerjaan mereka. Itulah pertemuan berkualitas. Aku tidak minta mereka melakukannya setiap hari. Tetapi saat aku memerlukan mereka, seperti biasa mereka tidak dapat hadir untukku karena pekerjaan mereka.

Aku rasa mereka sendiri tidak paham apa sebenarnya arti pertemuan berkualitas itu. Aku dengan orang tuaku saja setiap kali hanya bertemu saat makan pagi. Dan kami hanya bebrbicara seperlunya saja. Hanya basa basi antara orang tua dan anak. Seperti kaset yang diputar setiap pagi. Selanjutnya lebih banyak diam saja. Dulu waktu aku masih anak-anak semua terasa begitu dekat dan akrab. Seperti lagu acara anak-anak di televisi.

“Waktu ku kecil hidupku

amatlah senang

senang dipangku

dipangku dipeluknya

serta dicium

dicium dimanjanya

namanya kesayangan.”

Tapi seiring aku besar semua mulai merenggang. Tidak ada lagi kesukaan dalam kehidupan pernikahan kedua orang tuaku. Semua hanya kewajiban moral saja. Mungkin karena kelelahan bekerja sehingga kehangatan cinta dan kasih saying berubah menjadi dingin. Kami menjadi seperti orang asing yang saling berbasa basi. Hanya kewajiban sebagai anggota sebuah keluarga. Bukan didasari cinta dan kasih sayang. Entahlah mungkin di dasar lubuk hati kami masih tersisa secuil cinta kasih sayang. Jaman es telah kembali ya di rumah kami.

Setelah jaman es berlalu, tibalah momennya kehangatan murka memenuhi suasana rumah kami. Mula-mula hanya sikap diam di antara kedua orang tuaku. Tapi sorot mata penuh amarah yang menyala-nyala terpancar dari mata ibuku. Aku tidak tahu mengapa. Sampai suatu saat,

“ Bajingan!!”

“ Bangsat!!”

“Brengsek!!” maki ibuku.

“ Diam!!” teriak ayahku.

“ Aaaaaaarrrgghh….aaaaa…,” jerit histeris ibuku.

Itu sudah menjadi rutinitas beberapa waktu belakangan ini. Dan waktu kutanya pada ibuku apa yang sebenarnya terjadi, ternyata papaku memiliki wanita idaman lain yang jauh lebih kaya dari kami. Beberapa minggu lalu mama melihat sendiri di pelataran parkir sebuah hotel mewah di Kebayoran Baru. Papa dijemput seorang wanita dengan supirnya menggunakan mobil seharga semilyar lebih. Sempat terbersit dalam pikiraanku kalau-kalau papa telah beralih profesi menjadi gigolo kelas atas. Ternyata ada yang lebih mengejutkan lagi.

“ Papamu telah menikah dengan wanita itu,” mama menjelaskan. Mama tahu dari mak yang bercerita dengan penuh penyesalan. Mak sebenarnya sayang sekali dengan mama. Mak sendiri baru tahu setelah mak mendesak bertanya pada papa sejauh mana hubungan papa dengan istri barunya itu.

Bias kaubayangkan betapa sakit hati hatiku. Sejak saat itu kesehatan mama langsung merosot. Akibatnya mama dipecat dari pekerjaannya. Ia membuat kantornya rugi ratusan juta karena salah menganalisa saham. Mama juga jadi sering pingsan. Terlalu sedih pingsan. Terlalu senang juga pingsan. Ternyata mama menderita gangguan otot di jantung. Sempurnalah penderitaan mamaku. Betapa beruntungnya.

“ Kita kan pindah ke apartemen,” titah papa suatu hari. Agak heran juga aku mendengar berita baru ini. Tetapi rasanya sedikit terhibur juga mendengar kabar itu. Bukankah apartemen yang ada di Jakarta tergolong mewah dengan fasilitas ala surga dunia? Kami pun segera mengemasi barang-barang kami dan pindah ke apartemen baru.

Satu bulan pertama rasanya memang sedikit menyenangkan dengan segala fasilitas apartemen. Tapi lama kelamaan rasanya seperti tinggal di sarang burung yang pengap. Tidak ada udara segar. Hanya udara palsu sepanjang siang dan malam setiap hari sepanjang minggu. Kalaupun jendela dibuka, rasanya pengap dan deru angina yang kencang. Sehingga suasana terasa dingin. Tak peduli betapapun keras usahaku untuk menghangatkan suasana. Mungkin bukan salah gaya desain interiornya tetapi kami penghuninya yang apatis.

Pengamanan yang berlapis-lapis membuat kami seperti burung dalam sangkar emas. Atau mungkin penjara dengan fasilitas kelas satu. Bedanya kami bebas keluar masuk dengan kartu akses. Tetapi tidak dengan orang luar. Itulah sebabnya banyak wanita malam, simpanan, bini muda, istri kedua, ketiga, gula-gula, cem-ceman memilih tinggal di apartemen. Untuk menghindari gangguan masyarakat pada umumnya dan istri tua dan pertama pada khususnya.

Tapi kami berbeda. Mama memang istri pertama. Tapi tak ubahnya seperti istri kedua papaku. Karena ternyata alasan papa membawa kami tinggal di apartemen adalah menyembunyikan mamaku dan aku dari istri keduanya. Sebab bini muda papaku itu tidak tahu kalau kenyataannya ia hanya bini muda. Tetapi bini muda itu punya kekayaan, kekuasaan dan koneksi. Jadi ia dapat dengan mudah menyingkirkan kami.

Aku sendiri bingung mengapa orang tuaku tidak bercerai saja. Masih cinta dan sayang? Yang benar saja. Menikah tapi pisah, cerai tapi masih menikah. Papa lebih sering tinggal di rumah bini mudanya. Kalau ia mau menginap, bukan tinggal, di apartemen kami ia harus memberi alasan kepada bini mudanya ada urusan bisnis di Singapura atau Hongkong atau kemanapun ke luar negeri untuk urusan bisnis.

Waktu aku mengusulkan perceraian ini kepada Mak.

“ Hus, asal saja kalau ngomong! Mak tidak setuju papa mama bercerai. Cuma mamamu yang sanggup meneruskan nama keluarga kita lewat kamu. Bahkan bini muda papamu hanya sanggup memberikan anak-anak perempuan.” Tidak ada anak lelaki lain segenerasiku dalam keluarga besar papa. Jadi akulah alasan sebenarnya mengapa papa mama mempertahankan keutuhan drama perkawinan bahagia. Lagipula mamaku memang tidak berani memilih untuk bercerai. Ia tidak sanggup lagi jika harus hidup berdua denganku dengan kondisi penyakitnya.

Ternyata perceraian sejati sudah menunggu di depan pintu rumah kami. Mak yang adalah malaikat pelindung kami meninggal karena serangan jantung. Tetapi menurut gosip Mak meninggal karena disantet bini muda papaku karena mereka berdua selalu cekcok. Papa seakan mulai meninggalkan dan melupakan kami.

Hingga suatu saat papa bertitah, “ Pulang, bawa ibumu!” Ijin tinggalku dan mama sudah hampir habis. Dan ternyata papa tidak berminat memperpanjangnya lagi. Aku sempat berharap akan ada keajaiban lagi bagi keluarga kami. Kalau-kalau papa mau kembali, tinggal bersama kami lagi. Dan kami memulai lembaran baru sebagai keluarga kecil yang bahagia. Apalagi sikap papa sedikit berubah akhir-akhir ini. Ia lebih sering menghabiskan waktu bersama kami. Lebih jarang marah-marah. Sedikit lebih hangat.

Sampai akhirnya kami bertiga berangkat naik pesawat kembali ke Guangzhou. Tapi papa hanya membawa satu tas kerja saja. Aku heran sekaligus kuatir. Kekuatiranku menjadi kenyataan.

“ Kamu tahu kenapa kita kembali ke Guangzhou?”

“ Tidak. Memangnya kenapa? Apa kita mau tinggal di sini seterusnya?”

“ Papa tidak, cuma kamu dan mama. Alasan papa membawa kamu dan mama kembali ke Guangzhou adalah karena mama barumu sudah curiga dengan papa dan kalian berdua. Papa pikir karena kamu sudah lulus kuliah, berarti urusan papa sudah selesai dengan kalian berdua. Sekarang kamu harus berusaha sendiri. Papa akan kembali ke Jakarta. Kamu tidak usah berharap pada papa lagi. Semoga berhasil. Papa hanya bisa mengantar sampai di sini saja. Setengah jam lagi papa akan kembali dengan pesawat tadi. Papa mungkin akan kembali lagi untuk mengurus perceraian dengan mamamu. Bye-bye.” Ia mengatakannya dengan nada datar seakan bukan perkara besar. Kemudian memelukku dan mencium kedua pipiku. Setelah itu ia memegang kedua tangan mamaku, memeluknya dan mencium kedua pipinya. Betapa efektifnya kata-kata papa rasanya langsung menembus tubuhku. Seakan-akan tidak mau buang-buang waktu lagi, ia hanya melenggang meningglakan aku dan mama di area kedatangan menuju area keberangkatan.

Hanny, kenapa kaubenci aku?

April 5th, 2006 by malachi-novel

…….Hanny, apa kau masih ingat waktu pertama kali kita bertemu kelas satu SMA? Pagi itu hanya kamu dan aku yang tiba paling awal di sekolah. Setelah kita saling berkenalan satu sama lain. Menanyakan asal SMP masing-masing. Kemudian aku kehabisan bahan pembicaraan sampai akhirnya kau yang lebih banyak yang bercerita tentang banyak hal. Dan sejak saat itu berbincang-bincang di bangku teras depan kelas kita menjadi rutinitas kita sepanjang tahun pertama kita waktu itu. Setiap hari beberapa menit pasti kita habiskan di depan teras sbelum akhirnya kita masuk ke kelas untuk mengerjakan PR bersama-sama sebelum jam pelajaran dimulai. Atau aku yang meminjamkan PR-ku kepadamu atau sebaliknya.
…….Sungguh waktu-waktu bersamamu adalah saat yang paling aku ingat sepanjang masa SMA kita. Mungkin karena hanya denganmu aku bisa bebas menjadi diriku apa adanya. Kita bergosip tentang banyak hal. Mulai artis Hollywood sampai Sailor Moon dan Ordinary People. Mungkin hanya kita di kelas yang membicarakan begitu banyak hal yang beragam dibandingkan dengan teman-teman sekelas yang lebih banyak ngobrol soal basket atau cewek atau bahkan pornografi. Bukannya kita tidak pernah membicarakannya hanya saja lebih jarang dibandingkan mereka.
…….Dulu aku tidak merasa ada yang kurang jika tidak ngobrol denganmu. Hanya saja aku merasa hari itu agak membosankan dan panjang rasanya. Hanny, kau mampu memberikan rasa dan jiwa dalam setiap obrolan kita. Aku kehilangan saat-saat mengobrol denganmu setelah kau berubah.
…….Kaubilang aku banci. Dan kautebarkan kebencianmu pada teman-teman yang lain dengan nada menghujat. Kauanggap aku sampah, kotoran anjing yang harus dibersihkan dari halaman sekolah kita. Apa kaupikir aku pecandu sex, penggila lelaki? Hanny, aku bukan seperti itu.
…….Kau berubah waktu aku menyatakan perasaanku kepadamu. Cinta. Apakah aku salah mencintaimu? Begitu rendahnyakah harga cintaku dimatamu sampai kaubenci aku? Apakah cintaku menyakiti kamu seperti kausakiti aku? Aku hanya ingin mencintai, dicintai dan diterima apa adanya. Aku suka kebersamaan. Bersamamu. Bukan berarti sex bukan?
…….Tahukah kau aku hanya mengharapkanmu menerimaku apa adanya. Aku tahu diri. Aku tidak mungkin berharap kau mencintaiku seperti aku mencintaimu. Mungkin aku sedikit berharap cintamu. Tapi rasanya itu tidak mungkin terjadi. Aku menyadari keadaanku. Aku menyadari kenyataan dirimu tidak akan mencintaiku. Tapi Han, apa mengharapkanmu menerima keadaanku apa adanya terlalu muluk bagiku? Apa kaurasa aku tidak layak menerima kemewahan itu?
…….Tahukah kau Han, kalau kau menerimaku apa adanya saja adalah berarti sejuta kebahagiaan untukku. Aku tidak berharap sikapmu berubah menjadi mencintaiku. Aku hanya ingin kembali seperti dulu. Kita dekat seperti seorang sahabat karib. Dulu aku percaya kau tidak akan menjadi seperti teman-teman lainnya yang membenci aku. Tetapi mengapa sekarang kau berubah menjadi seperti mereka. Apa karena aku mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya kepadamu.

…….Tahukah kau apa yang kukorbankan untuk mengungkap perasaanku yang sesungguhnya kepadamu? Aku mengorbankan harga diriku. Aku korbankan perasaanku. kau tahu sendiri yang kau lakukan dengan sikapmu yang merendahkanku. Bahkan teman-teman kita pun menghujatku. Tak terpikir olehku kau akan bersikap seperti itu. Kau membuatku terkejut. Karena apa yang kaulakukan terhadapku jauh lebih menyakitkan daripada yang dilakukan teman-teman kita. Mungkin itu karena kau adalah yang terdekat denganku. Dan aku tidak terpikir kau akan bersikap seperti itu. Rasanya seribu kali lebih menyakitkan kalau kau tahu. Aku cinta kau tapi juga membencimu. Meskipun cintaku masih lebih besar daripada benci yang kurasakan. Rasanya seperti duri dalam hatiku.

…….Hanny, tahukah kau aku merasa sendiri dan kesepian sejak kau berubah sikap? Aku tidak punya teman. Mungkin karena mereka lurus. Jadi mereka takut menyimpang kalau bergaul denganku. Atau mereka takut dibilang banci seperti aku. Mereka membenciku karena aku bukan lelaki lurus seperti mereka. Apa kau juga seperti itu? Karena aku bukan lelaki sejati bagimu? Atau kau takut tidak menjadi lelaki sejati karena aku mencintaimu. Mungkin ada sebagian dari mereka yang mau berteman denganku tapi takut dengan tekanan yang lain. Mungkin tidak semua dari mereka lurus. Mungkin ada juga yang menyimpang sebenarnya tapi tidak berani mengaku.

…….Han, aku tidak mengharapkanmu menjadi menyimpang karena aku. Aku hanya ingin kautahu aku mencintaimu dan kau menerima keadaanku apa adanya tanpa kita harus menjadi sepasang kekasih. Aku hanya ingin mencintai, dicintai dan diterima apa adanya. Itu saja sudah cukup bagiku.
…….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar